JAKARTA, MEDIAJAKARTA.COM — Menjelang senja, di tengah hiruk-pikuk Ibu Kota, TPU Tanah Kusir berubah wajah. Bukan menjadi tempat sunyi dan penuh doa seperti biasanya, melainkan arena kehidupan yang justru terasa begitu riuh dan hangat.
Anak-anak berlarian di antara nisan, layangan menari di langit jingga, sementara para orang tua duduk santai menikmati hembusan angin sore.
Fenomena yang beberapa kali viral di media sosial ini sekilas tampak absurd: kuburan jadi taman bermain. Namun di balik keunikan itu, terselip realitas pahit tentang Jakarta—kota megapolitan yang kehabisan ruang terbuka hijau (RTH).
Dari Tanah Peristirahatan ke Lapangan Bermain
Bagi sebagian warga, TPU Tanah Kusir adalah satu-satunya “lapangan luas” yang tersisa di kawasan selatan Jakarta. Di tengah deretan gedung, mal, dan kompleks perumahan, hanya di sinilah mereka bisa menghirup udara segar tanpa harus membayar tiket masuk.
“Anak-anak butuh tempat bermain, tapi di sekitar sini sudah nggak ada taman lagi,” ujar Dedi (36), warga Kebayoran Lama, sambil menggulung benang layangan anaknya. “Daripada main di jalan yang bahaya, ya mending di sini. Lapang dan adem.”
Pemandangan seperti ini menunjukkan sisi lain dari kehidupan kota besar. Di mana ruang publik yang mestinya menjadi hak warga, kini kian langka dan mahal. Maka tak heran, area pemakaman pun menjadi “pelarian” bagi masyarakat untuk sekadar merasa hidup lebih lega.
Antara Adaptasi dan Etika
Namun di balik keceriaan itu, muncul pertanyaan etis yang tak bisa diabaikan. Apakah layak, nisan dan pusara dijadikan tempat duduk, atau area bermain bagi anak-anak?
Dalam budaya timur, terlebih dalam ajaran Islam, makam adalah tempat suci—ruang hening untuk berdoa dan merenung. Aktivitas yang riuh di dalamnya bisa dianggap mengaburkan makna penghormatan terhadap yang telah berpulang.
“Saya tidak menyalahkan warga,” kata Siti Rahmah (48), yang datang berziarah ke makam ayahnya. “Tapi kadang agak sedih juga lihat anak-anak injak-injak batu nisan. Mungkin mereka nggak tahu batasnya.”
Bukan Salah Warga, tapi Salah Tata Kota
Faktanya, yang patut disalahkan bukanlah warga yang bermain, melainkan sistem tata kota yang gagal memenuhi hak dasar masyarakat: ruang untuk bernapas dan bersosialisasi.
Jakarta masih jauh dari target ideal RTH yang ditetapkan Undang-Undang, yakni 30% dari luas wilayah kota. Nyatanya, menurut data Pemprov DKI, RTH di Jakarta baru mencapai sekitar 10%. Akibatnya, warga dipaksa beradaptasi dengan keadaan.
“Mereka tidak melawan aturan, mereka hanya mencari ruang hidup,” ujar seorang pemerhati kota dari Universitas Indonesia. “Fenomena Tanah Kusir adalah refleksi sosial: masyarakat urban yang bertahan di tengah keterbatasan.”
Saatnya Pemerintah Hadir
Fenomena “kuburan jadi taman” seharusnya menjadi alarm darurat bagi pemerintah kota. Bukan sekadar soal ketertiban, tapi tentang kegagalan menyediakan ruang publik yang manusiawi.
Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:
-
Menciptakan RTH Baru – Mengubah lahan tidur atau aset tidak produktif milik pemerintah menjadi taman dan lapangan publik.
-
Revitalisasi Ruang Publik Eksisting – Merawat lapangan dan taman yang sudah ada agar tetap nyaman dan mudah diakses.
-
Edukasi Etika Publik – Mengedukasi warga tentang batas kesopanan dan etika di area pemakaman, tanpa menutup akses sosial mereka.
Kuburan, Taman, dan Keputusasaan yang Dihidupkan
TPU Tanah Kusir kini seperti cermin bagi wajah Jakarta: tempat peristirahatan yang berubah menjadi simbol kehidupan, tapi juga pertanda kehilangan ruang yang sebenarnya.
Kuburan ini bukan lagi sekadar ruang kematian—ia menjadi monumen diam dari kegembiraan yang lahir dari keputusasaan. Dan di situlah ironi kota ini tersaji dengan jelas: ketika untuk tertawa saja, warga harus melangkah ke tanah yang seharusnya hening.
Sudah saatnya Jakarta mengembalikan taman pada fungsinya, agar kuburan bisa kembali menjadi tempat peristirahatan yang damai—bukan satu-satunya taman yang tersisa (Valitha Lintang Salsabila)

