Seribu Rupiah Sehari, Empat Dekade Menanti: Perjalanan Iman dari Desa Ngambin ke Tanah Suci

Internasional News

Oleh : Muhammad Anas 

Di tengah hamparan sawah yang membentang di Desa Ngambin, Jawa Tengah, seorang pria berusia 66 tahun dengan topi lusuh dan senyum tulus menyapu jalanan kampung. Setiap ayunan sapu adalah bagian dari perjalanan panjang yang penuh doa dan harapan. Namanya Legiman — petugas kebersihan, suami setia, dan pemimpi yang gigih.

Hampir tak ada yang menyangka: di balik gerobak tuanya, ia menyimpan harapan sebesar Ka’bah. Selama empat puluh tahun, setiap hari tanpa putus, ia dan istrinya menabung seribu rupiah — nilai yang mungkin dianggap remeh oleh banyak orang, namun menjadi fondasi dari impian suci: perjalanan ke Mekkah.

“Kami menghitung hari seperti menghitung putaran thawaf,” katanya pelan, mata berkaca-kaca seraya memegang paspornya yang baru terbit. “Itu bukan hal mudah, tapi sangat layak diperjuangkan.”

Sebuah Impian yang Dimulai Tahun 1986

Impian itu lahir tahun 1986. Saat sebagian besar orang berpikir tentang rumah baru atau kendaraan pertama, Legiman dan istrinya memikirkan Baitullah. Dari tumpukan kardus bekas, botol plastik, hingga barang rongsokan, mereka merangkai rupiah demi rupiah — bukan hanya untuk hidup, tapi untuk menyulam mimpi spiritual.

Di sela-sela pekerjaan utamanya, Legiman juga mengambil pekerjaan sampingan. “Saya harus tetap memenuhi kebutuhan rumah tangga, tapi saya juga punya kewajiban membawa istri saya ke Tanah Suci,” ucapnya dengan keyakinan mendalam.

Jalan Menuju Mekah: Ketika Dunia Membantu Para Pemimpi

Pada 2012, mereka mendaftarkan diri sebagai calon jamaah haji. Butuh 13 tahun setelahnya hingga nama mereka akhirnya terdaftar untuk berangkat tahun 2025. Namun takdir ternyata berpihak — Inisiatif “Jalan Mekah” yang diluncurkan oleh Arab Saudi mempercepat segalanya.

Inisiatif ini menyelesaikan prosedur haji sejak dari negara asal: pengambilan data biometrik, verifikasi kesehatan, hingga visa elektronik — semua dilakukan tanpa membuat lansia seperti Legiman kelelahan antre.

Bagi Legiman, program ini seperti pintu ajaib dari langit. “Semua terasa ringan. Seolah ada tangan yang menuntun kami langsung ke depan Ka’bah,” ujarnya sambil menahan tangis.

Dari Solo ke Tanah Haram

Mereka berangkat dari Bandara Solo bersama jamaah lainnya yang tergabung dalam program “Jalan Mekah.” Ketika pesawat lepas landas, Legiman menggenggam tangan istrinya — kuat tapi penuh haru. Di hatinya, ada keheningan dan getaran syukur yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

“Saya tidak pernah menyangka akan melihat Ka’bah dengan mata kepala saya sendiri,” katanya. “Semua ini seperti mimpi yang menjadi nyata.”

Setibanya di Arab Saudi, pasangan ini tak berhenti bersyukur. Mereka memuji sambutan hangat para petugas, keramahan penduduk lokal, dan kualitas pelayanan yang mereka sebut “di luar bayangan.”

Lebih dari Sekadar Perjalanan

Kisah Legiman dan istrinya bukan hanya tentang haji. Ini adalah puisi panjang tentang ketekunan, iman, dan cinta — cinta kepada Tuhan, kepada pasangan, dan kepada janji yang dibuat dalam sunyi.

Dari sudut desa sederhana di Pulau Jawa hingga pelataran Masjidil Haram, kisah ini mengingatkan kita bahwa impian, sekecil apa pun, jika disertai kesabaran, bisa melintasi batas waktu dan tempat.

Di tengah hiruk-pikuk zaman, kisah mereka berdiri sebagai pengingat: bahwa perjalanan paling sakral sering dimulai dengan langkah paling sederhana — bahkan dengan seribu rupiah sehari (Muhammad Anas)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *